Tag Archives: Ekonomi Indonesia

https://realaikidodojo.com

Industri Reasuransi Hadapi Tantangan, OJK Optimistis Pemulihan di Akhir 2025

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, mengungkapkan bahwa pendapatan premi reasuransi hingga Februari 2025 tercatat mencapai Rp5,46 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 20,36 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Ia juga mengingatkan bahwa sepanjang tahun lalu, industri reasuransi mengalami defisit sebesar Rp12,10 triliun, yang menandai adanya tekanan cukup berat di sektor ini.

Meski begitu, Ogi menyampaikan optimisme bahwa hingga akhir tahun 2025, pendapatan premi reasuransi akan kembali bergerak positif. Ia menjelaskan bahwa industri reasuransi sedang menghadapi tantangan pasar yang semakin kompleks, terutama akibat fenomena hardening market dan keterbatasan kapasitas reasuransi domestik. Fenomena hardening market ini, menurutnya, paling terasa di sektor properti dan engineering, di mana premi menjadi lebih mahal dan ketersediaan proteksi semakin ketat.

Ogi menambahkan bahwa kapasitas dalam negeri masih belum memadai untuk menampung risiko besar, sehingga sekitar 40 persen dari total premi reasuransi masih harus dialihkan ke reasuransi luar negeri. Ketergantungan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak dari kenaikan tarif impor Amerika Serikat maupun perubahan kebijakan perdagangan global terhadap biaya premi. Sebagai respons, OJK mewajibkan perusahaan reasuransi dalam negeri untuk meningkatkan modal agar mampu mengelola risiko secara mandiri. OJK juga mendorong penguatan tenaga ahli di bidang penilaian dan manajemen risiko serta mempertimbangkan pembentukan perusahaan reasuransi besar di dalam negeri sebagai solusi jangka panjang. Hingga Februari 2025, OJK mencatat ada 106 dari total 144 perusahaan asuransi dan reasuransi di Indonesia yang telah memenuhi persyaratan minimum ekuitas menjelang batas akhir tahun 2026.

Utang Luar Negeri Indonesia Turun, BI Tegaskan Struktur Tetap Sehat dan Terkendali

Bank Indonesia mencatat bahwa posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2025 menurun menjadi 427,2 miliar dolar AS, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 427,9 miliar dolar AS. Penurunan ini turut dipengaruhi oleh penguatan dolar AS terhadap mata uang global, termasuk rupiah. Secara tahunan, ULN tumbuh 4,7 persen, melambat dibandingkan pertumbuhan pada Januari yang mencapai 5,3 persen.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa penurunan ULN ini didorong oleh perlambatan utang sektor publik dan kontraksi dari sektor swasta. Posisi ULN pemerintah pada Februari tercatat sebesar 204,7 miliar dolar AS, sedikit menurun dari Januari yang sebesar 204,8 miliar dolar AS. Pertumbuhan tahunan ULN pemerintah mencapai 5,1 persen, sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya.

Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh pergeseran investasi nonresiden dari Surat Berharga Negara ke instrumen investasi lain, yang dipicu oleh ketidakpastian kondisi pasar keuangan global. Pemerintah tetap menjaga kredibilitas fiskal dengan memastikan pembayaran utang tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati demi efisiensi pembiayaan.

Di sisi lain, ULN swasta tetap berada di angka 194,8 miliar dolar AS dan mencatat kontraksi pertumbuhan 1,6 persen secara tahunan. Sebagian besar ULN swasta berasal dari sektor industri pengolahan, jasa keuangan, kelistrikan, serta pertambangan. Mayoritas ULN Indonesia tetap berjangka panjang, mencerminkan struktur yang sehat dan terkendali, dengan rasio terhadap PDB turun menjadi 30,2 persen. Pemerintah dan BI berkomitmen menjaga stabilitas dan memaksimalkan peran ULN dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional.

Ketika Dunia Memanas, Indonesia Tampilkan Ketahanan Ekonomi yang Menarik

Di tengah meningkatnya ketegangan global akibat kebijakan tarif impor baru dari Presiden AS Donald Trump, ekonomi domestik Indonesia menunjukkan ketahanan yang patut diperhitungkan. Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyatakan bahwa permintaan dalam negeri yang tetap stabil selama bulan Ramadhan dan kesiapan Bank Indonesia dalam menjaga nilai tukar rupiah menjadi dua faktor penyangga utama pasar. Bank Indonesia diperkirakan akan terus melakukan intervensi jika diperlukan, didukung oleh cadangan devisa yang masih berada di tingkat aman.

Nilai tukar rupiah ditutup menguat tipis 0,12 persen ke posisi Rp16.560 per dolar AS pada 26 Maret 2025, meski sepanjang tahun ini masih terkoreksi 2,84 persen. Di sisi pasar modal, IHSG menguat 0,59 persen ke level 6.510,62 jelang libur panjang Lebaran, dengan dana asing mencatatkan net buy sebesar Rp623,6 miliar. Meskipun masih melemah 8,04 persen secara tahunan, penguatan ini menjadi indikator positif terhadap keyakinan investor jangka menengah.

Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun dalam rupiah turun signifikan menjadi 7 persen, menandakan minat yang meningkat terhadap surat utang domestik. Ketegangan global akibat tarif AS telah mengguncang pasar saham dunia, namun justru menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memosisikan diri ulang dalam peta perdagangan global. Dengan fleksibilitas kebijakan dan fundamental ekonomi yang kokoh, Indonesia siap menyambut tantangan dan memanfaatkan peluang dari dinamika global yang terus berubah.

Bank Indonesia Tancap Gas Stabilkan Rupiah, Intervensi NDF Digelar di Tengah Libur Lebaran

Bank Indonesia (BI) mengambil langkah tegas untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah tekanan global yang meningkat. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 7 April 2025, BI memutuskan untuk melakukan intervensi di pasar off-shore non deliverable forward (NDF), merespons gejolak di pasar keuangan internasional yang turut memengaruhi rupiah. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menyatakan bahwa tekanan terhadap rupiah terjadi terutama di pasar NDF, mengingat pasar domestik sedang libur panjang dalam rangka perayaan Idulfitri 1446 H.

Penyebab utama gejolak ini berasal dari kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan oleh Pemerintah Amerika Serikat pada 2 April, disusul kebijakan balasan dari Pemerintah China pada 4 April. Konflik dagang antara dua kekuatan ekonomi dunia ini memicu keluarnya arus modal dan tekanan nilai tukar di berbagai negara, terutama di pasar negara berkembang. Untuk mengantisipasi dampaknya, BI melakukan intervensi berkelanjutan di pasar Asia, Eropa, hingga New York.

Ramdan menambahkan, Bank Indonesia juga akan langsung melakukan intervensi agresif di pasar domestik saat dibuka kembali pada 8 April. Langkah yang akan diambil mencakup intervensi di pasar valuta asing, baik spot maupun DNDF, serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Selain itu, BI akan mengoptimalkan penggunaan instrumen likuiditas rupiah guna menjaga kecukupan dana di pasar uang dan sektor perbankan. Seluruh langkah ini bertujuan untuk menstabilkan rupiah dan menjaga kepercayaan investor terhadap ekonomi nasional.

Strategi Telisa Falianty: Diplomasi Ekonomi dan Reformasi Domestik Hadapi Tarif AS

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Prof. Telisa Aulia Falianty, menyarankan agar Indonesia menempuh pendekatan negosiasi yang disertai reformasi regulasi dan peningkatan daya saing ekspor sebagai respons terhadap tarif impor dari Amerika Serikat. Menurutnya, aksi balasan seperti menaikkan tarif hanya akan memperburuk situasi dan memicu ketegangan dagang yang merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Ia menekankan bahwa solusi terbaik adalah melalui jalur diplomasi, pembenahan kebijakan dalam negeri, dan diversifikasi tujuan ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar AS.

Telisa juga menyoroti kemungkinan terjadinya pengalihan perdagangan (trade diversion), terutama dari negara seperti Tiongkok yang saat ini menghadapi hambatan ekspor ke AS. Namun, Indonesia belum tentu menjadi pilihan utama bagi negara-negara yang mengalihkan ekspornya. Biasanya, negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Uni Eropa menjadi destinasi utama substitusi tersebut. Dalam situasi ini, pemerintah perlu bersiap menghadapi lonjakan impor sekaligus mengamankan pasar domestik tanpa menciptakan hambatan yang dapat dinilai diskriminatif secara internasional.

Ia menambahkan, sebagai anggota ASEAN, BRICS, dan G20, Indonesia harus mengoptimalkan diplomasi multilateral, meski kebijakan Presiden Trump lebih menekankan kesepakatan bilateral. Diplomasi kawasan tetap relevan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia. Telisa juga menggarisbawahi bahwa sektor seperti sawit dan tekstil masih memiliki potensi besar untuk menjaga hubungan dagang dengan AS. Ia menilai tarif 32 persen dari AS terhadap produk Indonesia dipicu oleh tuduhan manipulasi kurs dan hambatan non-tarif, yang perlu segera ditangani pemerintah.

Impor Tekstil dari Tiongkok Merosot, Investasi Domestik Justru Melonjak

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa impor tekstil dan produk tekstil (TPT) dari Tiongkok mengalami penurunan drastis pada Februari 2025. Nilai impor dari negara tersebut berkurang sebesar 141,1 juta dolar AS atau 36,60 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Secara keseluruhan, total impor TPT Indonesia pada bulan tersebut tercatat sebesar 606,8 juta dolar AS, menurun 20,74 persen dibandingkan Januari.

Sementara itu, ekspor TPT Indonesia justru mengalami peningkatan, terutama ke Amerika Serikat. Ekspor ke negara tersebut mencapai 17,4 juta dolar AS atau meningkat 4,13 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Secara total, ekspor TPT Indonesia pada Februari 2025 mencapai 1,02 miliar dolar AS. Selain itu, Indonesia juga membukukan surplus perdagangan dengan Amerika Serikat sebesar 1,57 miliar dolar AS, dengan sektor utama penyumbang surplus berasal dari mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesoris rajutan, serta alas kaki.

Di tengah penurunan impor, sektor industri tekstil dalam negeri justru menunjukkan pertumbuhan investasi yang signifikan. Berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian, industri tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar 0,09 persen, 5,78 persen, dan 6,83 persen pada tahun lalu. Lonjakan ini tercermin dari realisasi investasi di sektor tersebut yang meningkat dari Rp29,92 triliun pada 2023 menjadi Rp39,21 triliun pada 2024, naik sebesar 31,1 persen. Peningkatan investasi ini menjadi indikasi bahwa kepercayaan investor terhadap industri tekstil dan turunannya di Indonesia semakin kuat.

Defisit APBN Awal 2025 Capai Rp31,2 Triliun, Pemerintah Perkuat Efisiensi

Pada periode Januari hingga Februari 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau sekitar 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa angka ini masih dalam batas yang telah direncanakan dalam APBN 2025, yang memproyeksikan defisit sebesar 2,53% dari PDB atau sekitar Rp616,2 triliun. Defisit tersebut terjadi akibat realisasi pendapatan negara yang mencapai Rp316,9 triliun, sementara belanja negara menembus Rp348,1 triliun.

Meski angka defisit masih terkendali, penurunan penerimaan pajak serta peningkatan rasio utang menjadi perhatian utama. Penerimaan perpajakan hanya mencapai 4,18% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dipengaruhi oleh turunnya harga komoditas utama seperti batu bara dan kelapa sawit. Selain itu, insentif pajak yang diberikan pemerintah guna menopang daya beli masyarakat turut berkontribusi pada menurunnya pendapatan negara. Di sisi lain, belanja negara terus meningkat untuk mendukung berbagai program prioritas, termasuk subsidi energi dan belanja sosial.

Pemerintah menanggapi situasi ini dengan memperkuat efisiensi anggaran, di mana belanja pusat dan daerah yang mencapai Rp306,69 triliun telah direalokasikan tanpa mengubah postur APBN. Meskipun defisit masih dalam batas wajar, pemerintah tetap perlu melakukan pengawasan ketat terhadap kebijakan fiskal agar stabilitas ekonomi tetap terjaga. Langkah-langkah strategis seperti reformasi perpajakan, optimalisasi belanja, dan pengurangan ketergantungan pada utang diharapkan mampu mengurangi risiko defisit yang lebih besar di masa mendatang.

Optimisme Menteri Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan keyakinannya bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III tahun 2024 akan berada di atas 5 persen. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers setelah rapat evaluasi kinerja ekonomi nasional. Sri Mulyani menyebutkan bahwa berbagai indikator ekonomi menunjukkan tren positif yang mendukung perkiraannya.

Faktor Pendorong Pertumbuhan

Sri Mulyani menjelaskan beberapa faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi. Di antaranya adalah meningkatnya konsumsi masyarakat, sektor investasi yang mulai pulih, serta ekspor yang mengalami peningkatan. Terlebih, sektor pariwisata yang semakin pulih pasca-pandemi Covid-19 menjadi salah satu penggerak utama dalam meningkatkan perekonomian. Peningkatan kunjungan wisatawan domestik dan internasional diprediksi akan berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan.

Tantangan yang Dihadapi

Meski optimis, Sri Mulyani juga mengingatkan adanya tantangan yang harus dihadapi. Ketidakpastian global, seperti inflasi yang tinggi di berbagai negara dan krisis energi, berpotensi memengaruhi kinerja ekonomi. Namun, pemerintah telah menyiapkan strategi untuk mitigasi risiko dan menjaga stabilitas ekonomi. Penanganan yang baik terhadap inflasi dan dukungan terhadap sektor-sektor strategis menjadi fokus utama.

Langkah-langkah Kebijakan Pemerintah

Untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tetap kuat, pemerintah akan menerapkan berbagai kebijakan. Salah satunya adalah mempercepat realisasi anggaran belanja negara untuk program-program yang berdampak langsung kepada masyarakat. Selain itu, insentif bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) juga akan diperkuat untuk mendorong pertumbuhan di sektor tersebut.

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2024

Dengan berbagai upaya yang dilakukan, Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 secara keseluruhan masih akan berada di kisaran 5-5,5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada tantangan, potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif. Harapan akan pemulihan yang berkelanjutan membuat pemerintah optimis dalam menyongsong masa depan ekonomi yang lebih baik.

Kesimpulan: Harapan untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan

Dengan keyakinan yang tinggi dan langkah-langkah strategis yang sudah dipersiapkan, Sri Mulyani dan pemerintah Indonesia optimis untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang solid di kuartal III 2024. Dukungan dari masyarakat dan pelaku usaha menjadi kunci dalam mencapai target tersebut.