Tag Archives: Stabilitas Ekonomi

https://realaikidodojo.com

Reformasi Pajak dan Penguatan Ekonomi Indonesia Menjadi Fokus Utama

Kepala Departemen Makroekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, menyarankan pemerintah untuk merevisi kebijakan insentif pajak agar lebih berbasis pada kinerja daripada sekadar sektor prioritas. Menurutnya, hal ini penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama setelah Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan negara ini. Rizal menjelaskan bahwa dalam negosiasi dengan Amerika Serikat (AS), reformasi perpajakan menjadi sangat penting untuk membuat kebijakan lebih tepat sasaran dan agresif.

Rizal juga mendorong pemerintah untuk lebih optimal dalam kebijakan investasi, seperti dengan memperbaiki implementasi sistem OSS (Online Single Submission). Meskipun Indonesia memiliki potensi pasar besar, gap antara kebijakan yang dirancang dan pelaksanaannya sering menghambat daya tarik investasi. Menurut Rizal, para investor lebih mengutamakan kepastian bisnis dan stabilitas kebijakan daripada berbagai insentif yang ditawarkan.

Selain itu, Rizal menekankan pentingnya konsumsi berkualitas melalui peningkatan upah riil dan penguatan program perlindungan sosial yang adaptif. Hal ini harus mencakup perbaikan dalam mekanisme penetapan upah, pelatihan tenaga kerja, serta efektivitas bantuan sosial untuk kelompok rentan tanpa mengganggu pasar kerja. Rizal juga menyoroti pentingnya memperkuat sektor keuangan domestik dengan memperbesar pembiayaan ke sektor produktif, seperti UMKM dan startup berbasis teknologi.

Untuk memastikan stabilitas ekonomi, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) diharapkan menjaga inflasi, stabilitas nilai tukar, dan defisit fiskal, terutama di tengah ketidakpastian global. Rizal juga menyarankan agar pemerintah fokus pada reindustrialisasi berbasis rantai nilai, bukan hanya hilirisasi komoditas, dengan prioritas pada industri berbasis teknologi tinggi seperti semikonduktor dan baterai kendaraan listrik.

Utang Luar Negeri Indonesia Turun, BI Tegaskan Struktur Tetap Sehat dan Terkendali

Bank Indonesia mencatat bahwa posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2025 menurun menjadi 427,2 miliar dolar AS, turun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 427,9 miliar dolar AS. Penurunan ini turut dipengaruhi oleh penguatan dolar AS terhadap mata uang global, termasuk rupiah. Secara tahunan, ULN tumbuh 4,7 persen, melambat dibandingkan pertumbuhan pada Januari yang mencapai 5,3 persen.

Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa penurunan ULN ini didorong oleh perlambatan utang sektor publik dan kontraksi dari sektor swasta. Posisi ULN pemerintah pada Februari tercatat sebesar 204,7 miliar dolar AS, sedikit menurun dari Januari yang sebesar 204,8 miliar dolar AS. Pertumbuhan tahunan ULN pemerintah mencapai 5,1 persen, sedikit lebih rendah dari bulan sebelumnya.

Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh pergeseran investasi nonresiden dari Surat Berharga Negara ke instrumen investasi lain, yang dipicu oleh ketidakpastian kondisi pasar keuangan global. Pemerintah tetap menjaga kredibilitas fiskal dengan memastikan pembayaran utang tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati demi efisiensi pembiayaan.

Di sisi lain, ULN swasta tetap berada di angka 194,8 miliar dolar AS dan mencatat kontraksi pertumbuhan 1,6 persen secara tahunan. Sebagian besar ULN swasta berasal dari sektor industri pengolahan, jasa keuangan, kelistrikan, serta pertambangan. Mayoritas ULN Indonesia tetap berjangka panjang, mencerminkan struktur yang sehat dan terkendali, dengan rasio terhadap PDB turun menjadi 30,2 persen. Pemerintah dan BI berkomitmen menjaga stabilitas dan memaksimalkan peran ULN dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional.

Defisit APBN Awal 2025 Capai Rp31,2 Triliun, Pemerintah Perkuat Efisiensi

Pada periode Januari hingga Februari 2025, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau sekitar 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa angka ini masih dalam batas yang telah direncanakan dalam APBN 2025, yang memproyeksikan defisit sebesar 2,53% dari PDB atau sekitar Rp616,2 triliun. Defisit tersebut terjadi akibat realisasi pendapatan negara yang mencapai Rp316,9 triliun, sementara belanja negara menembus Rp348,1 triliun.

Meski angka defisit masih terkendali, penurunan penerimaan pajak serta peningkatan rasio utang menjadi perhatian utama. Penerimaan perpajakan hanya mencapai 4,18% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dipengaruhi oleh turunnya harga komoditas utama seperti batu bara dan kelapa sawit. Selain itu, insentif pajak yang diberikan pemerintah guna menopang daya beli masyarakat turut berkontribusi pada menurunnya pendapatan negara. Di sisi lain, belanja negara terus meningkat untuk mendukung berbagai program prioritas, termasuk subsidi energi dan belanja sosial.

Pemerintah menanggapi situasi ini dengan memperkuat efisiensi anggaran, di mana belanja pusat dan daerah yang mencapai Rp306,69 triliun telah direalokasikan tanpa mengubah postur APBN. Meskipun defisit masih dalam batas wajar, pemerintah tetap perlu melakukan pengawasan ketat terhadap kebijakan fiskal agar stabilitas ekonomi tetap terjaga. Langkah-langkah strategis seperti reformasi perpajakan, optimalisasi belanja, dan pengurangan ketergantungan pada utang diharapkan mampu mengurangi risiko defisit yang lebih besar di masa mendatang.