Bali, yang terkenal dengan pantainya yang indah dan ombak yang disukai wisatawan, sehari-hari harus menghadapi ancaman abrasi. Untuk mengatasi masalah ini, pohon bakau telah lama menjadi solusi alami yang digunakan oleh masyarakat pesisir. UPTD Tahura Ngurah Rai mencatat bahwa mereka mengelola sekitar 1.373 hektare kawasan mangrove, dengan lebih dari 80 persen area tersebut sudah tertanami. Pemeliharaan kawasan ini memerlukan biaya yang cukup besar, namun masyarakat pesisir, terutama para nelayan, turut berperan dalam merawatnya.
Tidak hanya menjadi pelindung alam, kawasan mangrove ini kini juga berfungsi sebagai objek wisata. Pengunjung dapat menyusuri kawasan tersebut menggunakan perahu dan menikmati pemandangan alam yang mempesona. Selain itu, masyarakat lokal juga mendapat keuntungan dari produk ekonomi kreatif yang mereka buat dari bahan mangrove, seperti sirup, kripik, teh, dan kopi yang dijual kepada wisatawan. Ekowisata mangrove ini semakin diminati, terutama setelah pandemi COVID-19 mereda, dengan rata-rata 2.400 pengunjung per bulan, sekitar 25 persen di antaranya adalah wisatawan asing.
Para ibu rumah tangga di sekitar kawasan ini juga berperan aktif dalam mengolah hasil alam dari mangrove, seperti membuat sirup dari buah mangrove yang kaya vitamin C dan kripik dari jenis mangrove tertentu. Meskipun proses pembuatannya cukup rumit dan memakan waktu, produk-produk ini memiliki nilai jual yang tinggi. Produk sirup mangrove, misalnya, dijual seharga Rp15 ribu per 100 ml. Ekowisata mangrove ini tidak hanya menguntungkan dari segi pariwisata, tetapi juga memberi pendapatan tambahan bagi masyarakat pesisir.