Tag Archives: Perang Dagang

https://realaikidodojo.com

Ketika Dunia Memanas, Indonesia Tampilkan Ketahanan Ekonomi yang Menarik

Di tengah meningkatnya ketegangan global akibat kebijakan tarif impor baru dari Presiden AS Donald Trump, ekonomi domestik Indonesia menunjukkan ketahanan yang patut diperhitungkan. Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, menyatakan bahwa permintaan dalam negeri yang tetap stabil selama bulan Ramadhan dan kesiapan Bank Indonesia dalam menjaga nilai tukar rupiah menjadi dua faktor penyangga utama pasar. Bank Indonesia diperkirakan akan terus melakukan intervensi jika diperlukan, didukung oleh cadangan devisa yang masih berada di tingkat aman.

Nilai tukar rupiah ditutup menguat tipis 0,12 persen ke posisi Rp16.560 per dolar AS pada 26 Maret 2025, meski sepanjang tahun ini masih terkoreksi 2,84 persen. Di sisi pasar modal, IHSG menguat 0,59 persen ke level 6.510,62 jelang libur panjang Lebaran, dengan dana asing mencatatkan net buy sebesar Rp623,6 miliar. Meskipun masih melemah 8,04 persen secara tahunan, penguatan ini menjadi indikator positif terhadap keyakinan investor jangka menengah.

Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun dalam rupiah turun signifikan menjadi 7 persen, menandakan minat yang meningkat terhadap surat utang domestik. Ketegangan global akibat tarif AS telah mengguncang pasar saham dunia, namun justru menciptakan peluang bagi Indonesia untuk memosisikan diri ulang dalam peta perdagangan global. Dengan fleksibilitas kebijakan dan fundamental ekonomi yang kokoh, Indonesia siap menyambut tantangan dan memanfaatkan peluang dari dinamika global yang terus berubah.

Strategi Telisa Falianty: Diplomasi Ekonomi dan Reformasi Domestik Hadapi Tarif AS

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Prof. Telisa Aulia Falianty, menyarankan agar Indonesia menempuh pendekatan negosiasi yang disertai reformasi regulasi dan peningkatan daya saing ekspor sebagai respons terhadap tarif impor dari Amerika Serikat. Menurutnya, aksi balasan seperti menaikkan tarif hanya akan memperburuk situasi dan memicu ketegangan dagang yang merugikan Indonesia dalam jangka panjang. Ia menekankan bahwa solusi terbaik adalah melalui jalur diplomasi, pembenahan kebijakan dalam negeri, dan diversifikasi tujuan ekspor agar tidak terlalu bergantung pada pasar AS.

Telisa juga menyoroti kemungkinan terjadinya pengalihan perdagangan (trade diversion), terutama dari negara seperti Tiongkok yang saat ini menghadapi hambatan ekspor ke AS. Namun, Indonesia belum tentu menjadi pilihan utama bagi negara-negara yang mengalihkan ekspornya. Biasanya, negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, atau Uni Eropa menjadi destinasi utama substitusi tersebut. Dalam situasi ini, pemerintah perlu bersiap menghadapi lonjakan impor sekaligus mengamankan pasar domestik tanpa menciptakan hambatan yang dapat dinilai diskriminatif secara internasional.

Ia menambahkan, sebagai anggota ASEAN, BRICS, dan G20, Indonesia harus mengoptimalkan diplomasi multilateral, meski kebijakan Presiden Trump lebih menekankan kesepakatan bilateral. Diplomasi kawasan tetap relevan untuk memperkuat posisi tawar Indonesia. Telisa juga menggarisbawahi bahwa sektor seperti sawit dan tekstil masih memiliki potensi besar untuk menjaga hubungan dagang dengan AS. Ia menilai tarif 32 persen dari AS terhadap produk Indonesia dipicu oleh tuduhan manipulasi kurs dan hambatan non-tarif, yang perlu segera ditangani pemerintah.

Ekonom Indef Kritik Tarif Resiprokal AS: Tidak Berdasar dan Membingungkan

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, mengkritik kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat karena dinilai tidak memiliki dasar ekonomi yang kuat. Dalam sebuah diskusi publik bertajuk “Waspada Genderang Perang Dagang” di Jakarta, Fadhil menyebut metode penghitungan tarif oleh pemerintah AS tidak didasarkan pada formula ekonomi yang jelas dan cenderung membingungkan.

Fadhil menjelaskan bahwa Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen oleh AS, padahal tarif yang dikenakan Indonesia terhadap produk asal Amerika hanya berkisar antara 8 hingga 9 persen. Menurutnya, pemerintah AS mengklaim Indonesia mengenakan tarif hingga 64 persen terhadap produk mereka, dengan dasar perhitungan dari selisih neraca perdagangan antara kedua negara. AS membagi surplus perdagangan Indonesia sebesar 16,8 miliar dolar AS dengan total impor AS dari Indonesia yang mencapai 28 miliar dolar AS, sehingga muncul angka 64 persen yang kemudian dianggap sebagai tarif efektif.

Selain itu, pemerintahan di bawah Presiden Donald Trump turut memasukkan unsur manipulasi mata uang dan hambatan non-tarif (Non-Trade Barriers/NTB) dalam perhitungannya. Fadhil menegaskan bahwa perhitungan NTB sangat kompleks dan tidak bisa disederhanakan menjadi angka tertentu. Bahkan, sejumlah ekonom AS, termasuk profesor dari University of Michigan, mengecam metode tersebut sebagai tidak masuk akal dan tidak ilmiah.

Fadhil menutup dengan menyatakan bahwa banyak pihak sepakat bahwa kebijakan tarif resiprokal AS cenderung dibuat tanpa argumentasi ekonomi yang valid dan berlaku secara global.